I Am

 

                                    BERBAGI KISAH TENTANG AKU DAN DIA (COVID-19)


            Bismillahirrahmaanirrahiim

Butuh keberanian sebenarnya untuk menceritakan kisah ini. Overthinking duluan yang menyerang saat ada niat menceritakan kisah ini. Tapi sudahlah, kita buang semua hal itu. Niatkan saja untuk berbagi kisah dan cukuplah menjadi pengalamanku saja yang mungkin akan berbeda dengan pasien covid lainnya. Oke kita simpan dulu book chapter, validasi perangkat pembelajaran PPG, APKG PPLSP, pembelajaran daring,  mini riset dan seabreg tugas-tugas lainnya..hehehe...

            Hari Senin tanggal 7 Februari 2022 adalah jadwal vaksin ke-2 anak-anak. Setelah berdiskusi dengan Abahnya anak-anak dan melihat anak-anak sehat kita putuskan untuk memberi vaksin ke-2 tersebut. Keraguan muncul saat melihat kondisi saya justru yang flu berat. Memang hari itu saya memutuskan tidak masuk kerja karena sakit ditambah pihak sekolah ada anjauran memberikan izin apabila ada guru atau tenaga kependidikan yang merasa sakit untuk tidak usah masuk sekolah. Ditambah kelas saya hari ini ada jadwal mahasiswa PPL yang praktik mengajar. Sehingga saya cukup memantau dan memvalidasi praktikan dari rumah saja.

            Sebagai bukti saya izin sakit, saya mencoba berkonsultasi online dengan petugas kesehatan di klinik polisi sekaligus tetangga saya. Bu Ocha atau Mae saya biasa memanggilnya. Mae berjanji akan membawakan saya obat sekaligus keterangan sakit. Saat berkonsultasi Mae sudah menanyakan kondisi dan gejala yang saya rasakan sebenarnya. Mae pun membagi video tentang ciri-ciri Omicron. Dari gejala yang ada di video tersebut memang tidak semua saya rasakan. Saya yakin saya sakit flu biasa. Aneh sih, karena saya biasanya paling kebal kena batuk atau pilek di rumah. Tapi saat itu ko, terasa berat dan saya mengalami demam.

            “Bu, anak-anak siap vaksin sekarang. Tapi Abahnya mau pastiin dulu kalau umminya (saya) sehat dulu.”. saya coba menghubungi Mae dulu. Akhirnya Mae menyarankan saya untuk  melakukan tes antigen dulu. Kebetulan di rumahnya masih ada persediaan. Bada Maghrib dengan berdebar-debar saya ke rumah Mae. Tentunya sebagai petugas medis, meski di rumah Mae tetap memakai APD, saya pun ke rumahnya memakai masker”.  Jreng..jreng...tanda merah di alat tes sangat jelas menunjukkan saya positif covid-19. Wah rasanya nano-nano...Gak percaya sedikit pun mau nangis juga. Mae juga kaget dengan hasilnya dan segera menyarankan saya untuk melakukan tes PCR juga. Walau dengan antigen juga dengan hasil positif  jelas seperti itu hasilnya sudah tidak diragukan lagi.

            Saya pulang ke rumah dengan sedih dan bingung harus bagaimana saya selanjutnya, sesampai di rumah karena anak-anak sedang mengaji di mesjid, saya langsung menghadap Abahnya anak-anak tentunya dnegan jaga jarak. “Bah, Ummi positif covid-19!”. Suami yang mengira saya bercanda hanya tersenyum, tapi setelah saya memperlihatkan hasil tes jelas Abah bingung. Abah meminta saya segera berkonsul dengan Mae bagaimana langkah yang harus kami ambil selanjutnya.

            Setelah berkonsul dan menghindari penularan, Mae langsung menghubungi Bu Erus sebagai Ibu RT di perum kami.  Bu erus segera bertindak cepat menghubungi pihak puskesmas untuk segera menangani saya dan keluarga. 2 jam kemudian tim dari puskesmas datang untuk melakukan tes anitgen kepada suami dan anak-anak. Disanalah perasaan saya mulai jatuh melihat anak-anak yang menangis karena ketakutan. Apalagi saya selaku Ibunya. Tapi Alhamdulillah semua dinyatakan negatif. Tetapi karena saya sendiri yang positif, saya harus terpisah dari mereka.

            Sempet bingung untuk menempatkan saya. Karena walau hasil keluarga saya negatif, tetapi tidak boleh keluar rumah dulu sebelum mereka di tes lagi pada hari ke-5. Mau dititipkan di rumah orang tua saya pun tentu masih beresiko. Akhirnya saya dan suami memutuskan kita akan tetap satu rumah tetapi saya harus memisahkan diri di lantai 2. Pihak puskesmas memang menyarankan selama saya berada di kamar dan juga kamar mandi yang terpisah dari anggota keluarga lain, saya masih bisa melakukan isolasi mandiri.

            Disanalah mental saya diuji. Khawatir saya bukan lagi pada kondisi saya tapi bagaimana anak-anak tanpa saya. Abah meyakinkan semua akan baik-baik saja dan saya harus lebih fokus pada penyembuhan, itu saja. Malam pertama terasing di rumah sendiri tentu tidak menyenangkan ditambah kondisi saya mulai memburuk. Gejala-gejala yang biasanya hanya saya baca di media ternyata satu per satu saya alami. Demam tinggi, batuk dan tenggorokan kering, nafas sesak, badan nyeri,dan tubuh terasa lemas sekali. Saya merasakan hal itu sampai pada hari ke-3. Tapi untuk penciuman dan rasa Alhamdulillah masih normal. Kecuali rasa memang makanan apapun terasa pahit.

            Saat saya dinyatakan positif dan harus melakukan isoman, do’a, dukungan serta bantuan baik moril maupun materi terus mengalir. Keluarga, sahabat, tetangga, rekan kerja, orang tua murid dan orang-orang yang mengenal saya terus menanyakan kabar dan bergantian memenuhi kebutuhan saya dan keluarga. Saya begitu terharu dengan segala kebaikan mereka dan buat semuanya terima kasih banyak juga kepada petugas kesehatan dari puskesmas dan Polres Tasikmalaya kota.

            Pihak puskesmas pun rutin memantau perkembangan kesehatan saya dan mengirim obat-obatan. Ditambah bantuan dari Polres Tasikmalaya Kota yang saat itu Pak Wakapolres didampingi petugas kesehatan menyerahkan bantuan beserta obat-obatan. Alhamdulillah selama isoman tersebut saya dikelilingi orang-orang baik termasuk Ibu Kepala Sekolah. Ibu selalu menanyakan kabar dan juga melalui anaknya yang bekerja di kesehatan selalu memantau saya. Alhamdulillah.

Gejala yang saya rasakan akan lebih kuat ketika memasuki sore hari. Apalagi ditambah udara dingin dan hujan. Saya sulit tertidur karena rasanya dada ini sesak sehingga bernafas pun sulit. Sampai-sampai saya harus mencari posisi yang enak untuk bisa tidur. Biasanya kepala saya harus ditopang sampai 5 bantal supaya enak bernafas. Itu pun tidurnya masih gelisah dan sering terbangun.

Dan puncaknya adalah hari ke-5. Di hari ke-5 waktunya saya dan keluarga melakukan tes lagi. Katanya sih kalau omicron baru 5 hari juga ada yang sudah negatif. Tapi melihat kondisi saya yang masih merasa demam dan masih ada gejala, saya merasa pesimis. Benar saja, hasil tes saya masih positif. Tetapi Alhamdulillah anak-anak dan suami negatif. Akhirnya demi kebaikan bersama anak-anak untuk sementara diungsikan dulu di rumah orang tua. Tentu saja saya sedih, karena selama saya isoman di rumah justru merekalah penyemangat hidup. Mendengan dan melihat mereka walau dari kejauhan dan berjarak adalah obat buat saya. Tapi perasaan khawatir selalu menghantui karena Abahnya yang mengurus mereka juga yang mengurus saya yang terinfeksi ini.

Hari ke-5 saya terinfeksi kebetulan adalah pertemuan kedua di perkuliahan saya. Saya mencoba menyimak kuliah daring dengan tubuh lemah dan sulit konsentrasi. Tapi saya berusaha menjalani dari mulai pukul 07.50 sampai menjelang maghrib. Karena hari Sabtu memang ada 4 mata kuliah. Dengan kondisi tidak fit, ditambah mendengar tugas-tugas yang harus saya kerjakan benar-benar membuat saya drop. Malamnya saya bukan hanya fisik yang lemah tapi mental saya pun kena. Saya menangis tanpa henti dan merasa bahwa saya sudah jatuh tidak berdaya lagi. Suami tentu saja kaget, dan inilah alasan mengapa dia melarang saya bekerja atau kuliah selama saya isolasi.

            Sempat saya menyatakan bahwa saya yang dulu sudah pergi. Saya bilang pada suami saya pengen keluar kerja, gak mau kuliah lagi dan gak mau ngapa-ngapain lagi. Saya merasa hidup saya sudah hancur. Suami dengan sabar menguatkan, beliau juga mengingatkan untuk berpasrah, kita hanyalah manusia memang punya kelebihan sekaligus kekurangan. Sehebat apapun usaha kita tetap Allah yang menentukan. Daripada menyesali dan merasa insecure suami menyarakan untuk berserah saja dan perbanyak istigfar. Astagfirullohal’adziim....

            Melihat kondisi saya yang ngdrop suami menyarankan saya turun di bawah dan tidurnya ditemani. Tentu saja saya menolak, saya tidak mau suami tertular. Saya pun meyakinkannya bahwa insyaAllah saya akan baik-baik saja. Kami pun memutuskan untuk kembali membawa anak-anak kembali di rumah supaya saya terhibur.

            Besoknya saya memutuskan untuk menyimpan semua pekerjaan dan tugas kuliah dulu. Saya akan fokus ke recovery terutama mental health saya. Saya kurangi melihat media sosial dan lebih pada mendengar murrotal seharian dan fokus pada pemulihan. Alhamdulillah saya merasa hari ke hari saya lebih tenang, menerima dan tentunya semua gejala telah berkurang.

            Hari ke-8 saya  mulai mencicil kembali pekerjaan dan tugas tentunya dengan menyesuaikan dengan sisa tenaga saya. Karena jujur rasa lemas itu masih ada. Dan setiap saya melakukan aktivitas walaupun hanya berjalan ke luar kamar saya biasanya merasa lemas dan harus kembali istirahat. Bahkan pada hari ke-9 saat saya mulai merasa fit saya malah terjatuh di kamar mandi karena merasa pusing. Suami mau menolong pun  saya larang, saya harus bangkit sendiri walaupun sakit banget dan sampai nangis pula.. hiks...hiks....badan saya basah kuyup mana malam-malam lagi. Badan semua terasa sakit sampai susah tidur. Yaa Allah ada-ada saja..

            Hari ke-10 saya berkonsultasi lagi dengan Mae dan petugas kesehatan, selama gejala itu sudah tidak ada, saya diperbolehkan berkumpul bersama keluarga asal masih prokes. Tetapi belum diperbolehkan untuk melakukan aktivitas berat atau bekerja. Mudah-mudahan setelah ini saya bisa kembali sehat seperti biasa walaupun efek yang disebut “Long Covid” masih saya rasakan.

Dilansir dari Kompas.com, Long Covid adalah kondisi dimana seorang penyintas COVID-19 masih merasakan gejala penyakit tersebut dalam jangka waktu yang lama, bahkan setelah dinyatakan sembuh dari COVID-19. Ya walau begitu mudah-mudahan itu tidak akan lama, karena saya harus melanjutkan hidup saya. Hehe dengan bahagia dan sehat tentunya. Aamiin.

Hikmah yang saya dapatkan selama terkena covid-19 ini ternyata banyak sekali. Saya belajar kembali menjadi individu yang lebih sabar, lebih bersyukur menerima apapun yang Allah berikan dan tentunya lebih sadar diri dengan segala kelemahan yang saya punya. Saya harus benar-benar memanfaatkan dan terus memberi manfaat untuk hidup yang singkat ini. Apapun yang kita lakukan kepada orang lain akan kembali lagi kepada kita. Tetaplah berbuat baik terlepas dari perbuatan orang teersebut pada kita.

Dan ketika kita terkena covid-19 hal pertama adalah tetap tenang dan menerima dengan ikhlas. Tidak usah bertanya mengapa, dimana, kenapa, siapa bagaimana. Sudah ini takdir dan sadari bahwa Ketika Allah sudah berkehendak maka tidak ada yang bisa menghalanginya. Tetap lakukan aktivitas terutama hobi sepertia biasa tentunya disesuaikan dengan kemampuan kita, perbanyak ibadah dan berdo’a, makan makanan sehat, jaga asupan cairan terutama buah-buahan, disiplin minum obat, hindari dulu kontak dengan siapapun, tetap menjaga silaturhami walau hanya lewat media sosial/chat.

Semangat sehat buat semuanya. Yakinlah setiap penyakit akan ada obatnya. Demikianlah sekelumit kisahku dengan si dia (Covid-19). Mudah-mudahan bisa mengambil hikmah dari kejadian ini. Bersyukur penyakit ini tidak menimpa kamu, dia, kalian dan mereka. Cukup sampai saya aja ya yang merasakan...terima kasih buat semua yang mau membaca kisah ini. Mohon maaf ya kepanjangan bukan bermaksud menyaingi novel “Layangan Putus” hihi... justru ini kisahnya berkebalikan. karena disini suami saya lulus ujian. bagaimana tidak, melihat istrinya sakit suamilah yang berperan dan segera menagmbil alin tugas sebagai kepala sekaligus ibu rumah tangga menggantikan posisi istrinya sambil merawat istri sakit lagi. MasyaAllah suamiku, kamu lulus dengan predikat Cumclaude...hehe

 

 

            

Hey there, I'm EMA!

Bagikan artikel ini!

Comments

12 komentar:

  1. Semangat terus bu emmaaa....
    Cepat sehat lagi.
    Seluruh keluarga sehat-sehat terus yaaa

    BalasHapus
  2. Alhamdulillah..mdh2an badai cpt berlalu. Semoga cpt pulih kembali ya néng...😘😘

    BalasHapus
  3. Cepat pulih sahabatku,badai pasti berlalu

    BalasHapus
  4. Wa idzaa maridhtu fahuwa yasyfiin. (Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan.) Aamiin yra..

    BalasHapus
  5. Lekas sembuh bu peesdir...kmi slalu mendoaknmu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin yra .hatur nuhun bu .sdh kangen pgn kuliah memburu isi baskom...hehe

      Hapus
  6. Alhamdulillah....kalian memang keluarga yang tangguh sehingga dapat melewati ujian. Terima kasih untuk tulisannya membuatku nyurucud neng haji. Neras sehat ya......dan sehat untuk kita semua. Aamiin.

    BalasHapus
  7. Aamiin yra..hatur nuhun tthku...keluarga yang masih harus byk belajar teh...hehe

    BalasHapus