Sore ini ditemani hujan yang
mengguyur bumi aku kembali merasa perlu bercerita padamu. Padahal badan ini
begitu lelah dengan kegiatan di hari ini ditambah pulangnya aku dan sahabatku kehujanan. Tetapi dalam hujan selalu ada
cerita. Dan buatku hujan adalah terapi segala hal dan selalu menginspirasi. I love it.
Terinspirasi dari sebuah bilangan
yang memang tidak diakui sebagai bilangan asli karena dinilai tidak berharga. Tetapi
ko aku sedang suka dengan bilangan itu. Ternyata bukan penghargaan atau citra
positif dari orang lain yang kita kejar. Jika itu yang kita kejar, jelas aku
salah. Semakin orang melihat betapa personal
branding kita meningkat, yakinlah angin yang menggoyahkan kita pun akan
semakin kencang. Apalagi jika ekspetasi orang tentang kita yang terlalu
berlebihan tetapi kenyataannya tidaklah seperti yang mereka nilai, aku yakin
bukan hanya orang lain yang kecewa, kita pun akan kecewa.
Dari sini aku belajar biarlah orang
lain menilai aku bukan dari rentang 1-10 yang menurut mereka bernilai tetapi
biarlah aku tetap menjadi angka “nol” untuk mereka. Aku semakin tidak peduli
dengan berbagai penialian oran lain terhadapku yang penting aku berusaha
menjadi, memberi dan berbuat baik kepada siapa pun. Biaralah penilaianku aku
serahkan kepada Rabb-ku.
Kembali ke angka “nol”, angka ini dilambangkan
dengan sebuah lingkaran yang justru dianggap bangun yang sempurna tanpa putus,
tetapi kenapa seolah-olah tidak bernilai. Inilah keistimewaannya menurutku. Di balik
penilainnya yang seolah tidak berharga tetapi dalam dirinya malah selalu sempurna
alias the best. Keisimewaan lainnya yang
terpenting adalah ,memang angka “nol”
itu tidak bernilai apalagi jika dia berada di depan. Sebanyak apapun deretan “nol”
didepan suatu bilangan tentu tidak akan dihargai. Menurutku ini mengajarkan
kita sebanyak apapun kita berbuat tetapi kalau hanya mengedepankan ego kita
saja ya percuma saja. Mungkin diri kita akan puas tetapi orang yang ada di
sekitar kita justru menganggap kita tidak ada manfaatnya untuk mereka.
Back to “zero”, angka “nol” akan
sangat berarti justru kalau dia ditaruh di belakang angka lainnya. Angka tersebut
akan jauh bernilai bahkan beberapa tingkatan dari sebelumnya. Taruhlah angka “nol”
itu di simpan di belakang angka satu, satu yang asalnya hanya bernilai satuan
setelah ditambah angka “nol” di belakang dia berubah bahkan naik tingkatannya
menjadi puluhan. Belum lagi kalau ditambah “nol” lainnya. Tidak peduli angka “nol”
itu disimpan di belakang kalau memang lebih memberi kebermanfaatn untuk angka
lainnya why not? Ya begitulah
kehidupan kita bolehlah sekalikali kita turunkan ego kita, kalau dengan kita
memilih berada di belakang, justru membuat semua lebih baik lagi. Bukankah itu
lebih nyaman dan indah?
Filosofinya begini, kebahagiaan kita
sesungguhnya itu adalah saat kita pun mampu memberi kebahagiaan untuk orang
lain. Dan kita belum bisa disebut orang sukses kalau belum menularkan
kesuksesan itu kepada orang lain. Sebagai guru, kita bukan hanya bertugas mengajar
dan mendidik, sudah selesai. Tetapi guru yang baik itu adalah guru yang juga
mampu menginspirasi bahkan menggerakkan siswanya untuk lebih baik dari pada
kita sendiri.
Dan aku belajar memilih untuk menjadi
angka “nol” daripada angka lainnya. Bukan apa-apa, aku tidak ingin orang lain
berlebihan menilaiku dan kalau kenyataanya diluar ekspetasi mereka, tentulah
mereka akan kecewa. Dan tugasku bukanlah memuaskan mereka, tugasku hanya satu
yaitu untuk mendapat Ridho Illahi. Perjalanan yang aku lewati telah banyak
mengajarkanku untuk menjadi orang yang dianggap “nol”, tetapi suatu saat mereka
akan merasakan keberadaanku walau pada waktunya aku harus berada di belakang
mereka, biarlah.
Tetapi untuk perbuatan atau memberi
aku tidak memilih untuk menjadi “nol” alias tidak berbuat apa-apa. Untuk apa
aku dilahirkan ke dunia ini tanpa manfaat yang aku sebarkan untuk sekitarku. Biarlah
orang menilaiku dengan angka “ nol” yang penting apa yang aku perbuat tidaklah “
nol” belaka.
Bukankah lebih baik from zero to hero daripada from hero to zero. Nudzubillah. Rumah
tangga, pekerjaan dan apa pun itu akan lebih indah dan berharga di ujung jika
dimulai dari “nol”. “ nol” mengajarkan kita jika nilai kita sudah meningkat
menjadi 1,2 bahkan 10, setidaknya kita tidak akan sombong dan menyadarkan kita
berasal dari mana? Bukankah hal ini akan membuat kita lebih bersyukur dan
selalu menghargai berapa pun nilai yang kita peroleh?
Nilai “nol” tertinggi adalah saat
kita menghadap Illahi. Kita yang berasal dari “nol” tidak ada apa-apa dan tidak
punya apa-apa, akan kembali menjadi “nol” . tidak akan ada yang bisa kita bawa
ketika kita menghadap-Nya. Semua yang kita perjuangkan bahkan kita
agung-agungkan tidak akan ada yang mengikuti kecuali amal dan kebaikan kita.
Se-atheis apapun seseorang jika dia
dihadapkan di titik “nol” yaitu di saat dia mengalami ketika tidak ada satu pun
yang bisa menolongnya, nurani dia pasti sadar bahwa selain dia ada Sesuatu yang
lebih tinggi yaitu Tuhan-nya. Misalnya, saat kita naik pesawat, tiba-tiba
pesawat itu oleng dan sudah tidak bisa diperbaiki, kemana kita akan meminta
pertolongan? Tentu saja kita pasrah. Pasrah disini adalah keadaan “nol”. Disitu
kita akan sadar, bahwa diluar kita ada yang Maha Kuasa. Dan itu adalah Tuhan
Pencipta Alam Semesta. Titik “nol” lainnya untuk umat Islam adalah ketika kita
berismpuh dalam sujud panjang. Betapa tidak berharganya kita, dan betapa Maha
Tingginya Tuhan kita. Otak yang selama ini kita dewa-dewakan saat posisi sujud,
letaknya bahkan tersungkur dalam sajadah. Ditambah posisinya paling bawah, dan
semua tahu yang berada di posisi paling
atas adalah …. Tempat kita membuang kotoran. Bukankah ini mengajarkan kita
betapa kecilnya kita di hadapan Rabb kita? Ini adalah bentuk “nol” atau
penyerahan tertinggi kita.
Pamungkas,
menjadi dan dinilai “nol” bukanlah suatu hal buruk. Dari “ nol” kita belajar
banyak hal. Tentang kerendahan hati, tentang mau mengalah dan ketika penilaian
Rabb kitalah yangmenjadi prioritas bukan
malah penilaian dari orang lain. Tetapi, meskipun kita dianggap “nol” tetapi
apa yang kita beri justru “nol” di belakang sebuah angka, yaitu 10 atau terbaik
dari yang kita bisa perbuat. Dan ketika nilai kita sudah naik, selalu ingat
bahwa asal kita itu dari “nol” dan berakhir di “nol” juga.
Zero to Hero, Zero The Hero, Zero yang terkucilkan, ya kadang kita hanya bisa memandang dengan Dhohriyah-nya saja, tanpa mengetahui sejatinya dalam Bathniyah, Sejati secara penilaian IlaHiyyah-nya, memiliki nilai Hero yang Unsureable, Unthinkable, bahkan Unbelievable. Sangat membutuhkan-nya "0".
BalasHapusKarna Nabi Adam AS adalah berasa Zero, maka beliau pun mendiami JannaH,
Dan Iblis yang merasa Hero, beliau pun terUsirkan,
Hikmahnya, tempatkanlah "0" dengan posisi SEMPURNA, untuk mencapai RIDHO ILAHI, AAMIIIN.
(Merancau😂🤣)
UluNG
HapusHduh UnKnown gning, UluNG, Bu
BalasHapus