I Am

~NOL~




Sore ini ditemani hujan yang mengguyur bumi aku kembali merasa perlu bercerita padamu. Padahal badan ini begitu lelah dengan kegiatan di hari ini ditambah pulangnya aku dan sahabatku  kehujanan. Tetapi dalam hujan selalu ada cerita. Dan buatku hujan adalah terapi segala hal dan selalu menginspirasi. I love it.
Terinspirasi dari sebuah bilangan yang memang tidak diakui sebagai bilangan asli karena dinilai tidak berharga. Tetapi ko aku sedang suka dengan bilangan itu. Ternyata bukan penghargaan atau citra positif dari orang lain yang kita kejar. Jika itu yang kita kejar, jelas aku salah. Semakin orang melihat betapa personal branding kita meningkat, yakinlah angin yang menggoyahkan kita pun akan semakin kencang. Apalagi jika ekspetasi orang tentang kita yang terlalu berlebihan tetapi kenyataannya tidaklah seperti yang mereka nilai, aku yakin bukan hanya orang lain yang kecewa, kita pun akan kecewa.
Dari sini aku belajar biarlah orang lain menilai aku bukan dari rentang 1-10 yang menurut mereka bernilai tetapi biarlah aku tetap menjadi angka “nol” untuk mereka. Aku semakin tidak peduli dengan berbagai penialian oran lain terhadapku yang penting aku berusaha menjadi, memberi dan berbuat baik kepada siapa pun. Biaralah penilaianku aku serahkan kepada Rabb-ku.
Kembali ke angka “nol”, angka ini dilambangkan dengan sebuah lingkaran yang justru dianggap bangun yang sempurna tanpa putus, tetapi kenapa seolah-olah tidak bernilai. Inilah keistimewaannya menurutku. Di balik penilainnya yang seolah tidak berharga tetapi dalam dirinya malah selalu sempurna alias the  best. Keisimewaan lainnya yang terpenting adalah ,memang  angka “nol” itu tidak bernilai apalagi jika dia berada di depan. Sebanyak apapun deretan “nol” didepan suatu bilangan tentu tidak akan dihargai. Menurutku ini mengajarkan kita sebanyak apapun kita berbuat tetapi kalau hanya mengedepankan ego kita saja ya percuma saja. Mungkin diri kita akan puas tetapi orang yang ada di sekitar kita justru menganggap kita tidak ada manfaatnya untuk mereka.
Back to “zero”, angka “nol” akan sangat berarti justru kalau dia ditaruh di belakang angka lainnya. Angka tersebut akan jauh bernilai bahkan beberapa tingkatan dari sebelumnya. Taruhlah angka “nol” itu di simpan di belakang angka satu, satu yang asalnya hanya bernilai satuan setelah ditambah angka “nol” di belakang dia berubah bahkan naik tingkatannya menjadi puluhan. Belum lagi kalau ditambah “nol” lainnya. Tidak peduli angka “nol” itu disimpan di belakang kalau memang lebih memberi kebermanfaatn untuk angka lainnya why not? Ya begitulah kehidupan kita bolehlah sekalikali kita turunkan ego kita, kalau dengan kita memilih berada di belakang, justru membuat semua lebih baik lagi. Bukankah itu lebih  nyaman dan indah?
Filosofinya begini, kebahagiaan kita sesungguhnya itu adalah saat kita pun mampu memberi kebahagiaan untuk orang lain. Dan kita belum bisa disebut orang sukses kalau belum menularkan kesuksesan itu kepada orang lain. Sebagai guru, kita bukan hanya bertugas mengajar dan mendidik, sudah selesai. Tetapi guru yang baik itu adalah guru yang juga mampu menginspirasi bahkan menggerakkan siswanya untuk lebih baik dari pada kita sendiri.
Dan aku belajar memilih untuk menjadi angka “nol” daripada angka lainnya. Bukan apa-apa, aku tidak ingin orang lain berlebihan menilaiku dan kalau kenyataanya diluar ekspetasi mereka, tentulah mereka akan kecewa. Dan tugasku bukanlah memuaskan mereka, tugasku hanya satu yaitu untuk mendapat Ridho Illahi. Perjalanan yang aku lewati telah banyak mengajarkanku untuk menjadi orang yang dianggap “nol”, tetapi suatu saat mereka akan merasakan keberadaanku walau pada waktunya aku harus berada di belakang mereka, biarlah.
Tetapi untuk perbuatan atau memberi aku tidak memilih untuk menjadi “nol” alias tidak berbuat apa-apa. Untuk apa aku dilahirkan ke dunia ini tanpa manfaat yang aku sebarkan untuk sekitarku. Biarlah orang menilaiku dengan angka “ nol” yang penting apa yang aku perbuat tidaklah “ nol” belaka.
Bukankah lebih baik from zero to hero daripada from hero to zero. Nudzubillah. Rumah tangga, pekerjaan dan apa pun itu akan lebih indah dan berharga di ujung jika dimulai dari “nol”. “ nol” mengajarkan kita jika nilai kita sudah meningkat menjadi 1,2 bahkan 10, setidaknya kita tidak akan sombong dan menyadarkan kita berasal dari mana? Bukankah hal ini akan membuat kita lebih bersyukur dan selalu menghargai berapa pun nilai yang kita peroleh?
Nilai “nol” tertinggi adalah saat kita menghadap Illahi. Kita yang berasal dari “nol” tidak ada apa-apa dan tidak punya apa-apa, akan kembali menjadi “nol” . tidak akan ada yang bisa kita bawa ketika kita menghadap-Nya. Semua yang kita perjuangkan bahkan kita agung-agungkan tidak akan ada yang mengikuti kecuali amal dan kebaikan kita.
Se-atheis apapun seseorang jika dia dihadapkan di titik “nol” yaitu di saat dia mengalami ketika tidak ada satu pun yang bisa menolongnya, nurani dia pasti sadar bahwa selain dia ada Sesuatu yang lebih tinggi yaitu Tuhan-nya. Misalnya, saat kita naik pesawat, tiba-tiba pesawat itu oleng dan sudah tidak bisa diperbaiki, kemana kita akan meminta pertolongan? Tentu saja kita pasrah. Pasrah disini adalah keadaan “nol”. Disitu kita akan sadar, bahwa diluar kita ada yang Maha Kuasa. Dan itu adalah Tuhan Pencipta Alam Semesta. Titik “nol” lainnya untuk umat Islam adalah ketika kita berismpuh dalam sujud panjang. Betapa tidak berharganya kita, dan betapa Maha Tingginya Tuhan kita. Otak yang selama ini kita dewa-dewakan saat posisi sujud, letaknya bahkan tersungkur dalam sajadah. Ditambah posisinya paling bawah, dan semua tahu yang berada di  posisi paling atas adalah …. Tempat kita membuang kotoran. Bukankah ini mengajarkan kita betapa kecilnya kita di hadapan Rabb kita? Ini adalah bentuk “nol” atau penyerahan tertinggi kita.
            Pamungkas, menjadi dan dinilai “nol” bukanlah suatu hal buruk. Dari “ nol” kita belajar banyak hal. Tentang kerendahan hati, tentang mau mengalah dan ketika penilaian Rabb kitalah yangmenjadi prioritas  bukan malah penilaian dari orang lain. Tetapi, meskipun kita dianggap “nol” tetapi apa yang kita beri justru “nol” di belakang sebuah angka, yaitu 10 atau terbaik dari yang kita bisa perbuat. Dan ketika nilai kita sudah naik, selalu ingat bahwa asal kita itu dari “nol” dan berakhir di “nol” juga.




Hey there, I'm EMA!

Bagikan artikel ini!

Comments

3 komentar:

  1. Zero to Hero, Zero The Hero, Zero yang terkucilkan, ya kadang kita hanya bisa memandang dengan Dhohriyah-nya saja, tanpa mengetahui sejatinya dalam Bathniyah, Sejati secara penilaian IlaHiyyah-nya, memiliki nilai Hero yang Unsureable, Unthinkable, bahkan Unbelievable. Sangat membutuhkan-nya "0".

    Karna Nabi Adam AS adalah berasa Zero, maka beliau pun mendiami JannaH,

    Dan Iblis yang merasa Hero, beliau pun terUsirkan,

    Hikmahnya, tempatkanlah "0" dengan posisi SEMPURNA, untuk mencapai RIDHO ILAHI, AAMIIIN.

    (Merancau😂🤣)

    BalasHapus
  2. Hduh UnKnown gning, UluNG, Bu

    BalasHapus