BERSAMA KESULITAN ALLAH MEMBESARKAN DAN MENYAYANGIKU
Tak ada
manusia yang tumbuh dengan ujian. Namun jika ujian itu kita jalani dengan
keikhlasan yakinlah Allah pun mendatangkan jalan-Nya diarah yang tak
disangka-sangka. Begitu banyak cara Allah
mendidik kita menjadi manusia yang selalu bersyukur dan lebih bijak menyikapi
hidup ini. Setidaknya inilah yang aku rasakan, betapa Allah menyayangiku justru
dengan kesulitan-kesulitan. Kesulitan itu telah mengajarkan banyak hal padaku
dan membuatku semakin dekat dengan-Nya. Inilah kisahku.
Aku
adalah anak kedua dari lima bersaudara 31 tahun yang lalu. Ayahku hanya seorang
sopir angkutan kota. Sedang ibuku adalah ibu rumah tangga biasa. Terlahir dari
orang tua dengan penghasilan pas-pasan tidak pernah membuatku patah semangat
untuk terus belajar dan berprestasi di sekolah. Dari pagi sampai malam aku tak
lelah untuk menuntut ilmu baik ilmu dunia maupun agama. Dan alhamdulillah sejak
SD aku tak lepas dari juara 1 begitu pula dengan sekolah agama/diniyyah. Aku
selalu menjadi santri berprestasi. Alhamdulillah.
Beban hidup terasa sulit bagiku
sejak ibu yang menjadi segalanya bagiku sakit-sakitan. Dua tahun Ibu menderita
jantung komplikasi dan hanya bisa diam di tempat tidur. Sejak kecil aku sudah
terbiasa mengurus ibuku selain adikku tentunya. Mulai dari memandikan beliau
sampai menyiapkan makanannya. Meski ibu terbaring lemah, Ibu tidak pernah lupa
untuk melaksanakn shalat lima 5 waktu. Sampai sekarang, aku masih ingat
bagaimana Ibu marah kalau waktunya shalat aku masih bermain bersama teman.
Karena tugasku untuk mewudhukannya walaupun cuma sekedar dilap.
Saat itu usiaku 10 tahun dan adikku
yang paling kecil masih berusia 2 tahun. Seperti biasa sepulang sekolah SD, aku
pergi ke madrasah. Maksud hati ingin meminta bekal jajan tapi ketika melihat
ibu terlelap tidur, rasanya tak tega. Aku pun pergi ke madrasah tanpa uang
jajan. Namun ternyata itulah kali terakhir diriku melihat ibu yang yang telah
mengandungku. Tanpa berfikir panjang aku pun pergi sekolah agama seperti biasa
bersama teman-teman. Bel masuk pun belum
berbunyi, tiba-tiba ada anak tetanggaku yang lari menghampiriku dan mengajak
diriku segera pulang. Bagai petir di siang bolong, dia berkata bahwa Ibuku
telah meninggal. Antara percaya dan tidak percaya aku berlari sambil menangis.
Dan ternyata di rumah telah banyak orang berkerumun dan tangisan keluargaku.
Benar saja, aku pun melihat ibu sudah terbujur kaku tak bernyawa. Saat itu pula
rasanya duniaku pun berakhir. Aku bingung, bagaimana aku hidup tanpa seorang
Ibu. Apalagi ketika melihat adikku yang masih bayi, rasanya aku sudah tidak
punya harapan.
Setelah kepergian Ibu, aku lebih
menjadi anak yang murung di sekolah. Namun semua tidak menyurutkan semangatku
untuk terus belajar. Aku masih ingat hampir tiap hari kami makan hanya dengan
mie instant karena tidak ada yang bisa memasak dan mungkin hanya itu yang mampu
kami beli. Bergantian aku dan saudara-saudaraku bolos sekolah karena harus
bergiliran menjaga adik yang masih kecil. Rumah pun tidak terurus tanpa
sentuhan tangan seorang Ibu. Sampai menjelang aku tamat SD, barulah ayah berani
menikah lagi supaya anak-anaknya terurus. Ayah tidak salah memilih Ibu tiri
bagi kami. Karena ibu tiri kami tidaklah kejam seperti di film-film yang sering
kulihat. Dia sangat sabar menghadapi anak-anak Ayah yang masih kecil-kecil dan
dapat menerima kehidupan keluarga kami yang kekurangan.
Cobaan terus datang terutama saat
diriku akan melanjutkan sekolah ke SMP. Predikat perolehan NEM tertinggi saat
itu tidak menjamin diriku mulus melanjutkan sekolah. Kakakku, anak pertama Ayah
sejak dari SMP telah ikut saudara ke luar kota. Alasannya sederhana karena Ayah
tidak sanggup membiayainya untuk sekolah ke jenjang selanjutnya. Diriku pun
hampir-hampir mau ikut keluarga lainnya di luar kota agar tetap bisa
melanjutkan sekolah namun Ayah tidak tega kalau aku pun harus seperti kakak
yang sejak SMP telah berpisah jauh. Aku menangis sejadi-jadinya karena
keinginanku untuk terus sekolah hampir terputus, Ayah bingung memikirkan biaya
masuk ke SMP seperti yang aku inginkan.
Tapi Allah ternyata mendengarkan
do’a-do’aku untuk tetap bisa melanjutkan sekolah. Erly salah satu teman SD ku
menawariku untuk menemaninya sekolah di SMP yang sama. Orang tuanya begitu baik
hati membantu biaya masuk ke SMP yang menurut ukuranku sangat besar karena SMP
itu adalah SMP favorit di kotaku. Aku dan keluarga tentu dengan senang hati menerima
kebaikannya. Dan aku pun bisa bersekolah di SMP favorit dengan Erly. Berada di
sekolah favorit pada awalnya membuatku merasa
minder. Karena kebanyakan dari siswanya adalah siswa menengah keatas.
Untuk bekal sehari-hari ke sekolah aku hanya cukup untuk naik angkot saja. Itu
pun tidak setiap hari. Kalau lagi tidak ada bekal, aku biasa pulang sekolah
dengan jalan kaki. Malah kadang Erly menemaniku jalan kaki walau jarak dari
rumah ke sekolah kira-kira 4 km. Uang jajanku aku dapatkan dari nenek yang
mempunyai usaha pencucian mobil. Sepulang mengaji maghrib, aku terbiasa tidur
menemani nenekku dan sebagai imbalannya aku diberikan uang jajan. Sedang untuk
biaya SPP aku dibiayai oleh pamanku. Walau dengan rasa malu, setiap awal bulan
aku pergi ke rumah paman untuk sekedar meminta uang SPP. Sedang untuk menghemat
uang jajan, aku terbiasa puasa Senin-Kamis. Sisa uangnya aku kumpulkan untuk
membeli buku atau LKS.
Menjadi siswa miskin tidak
menjadikan prestasiku miskin. Alhamdulillah aku selalu masuk di 3 besar, bahkan
aku masuk di kelas unggulan dimana siswa-siswanya dipilih dari beberapa kelas
dengan peringkat 5 besar di tiap kelasnya. Bahkan aku pun aktif di organisasi
OSIS dan PMR dan masuk dalam kepengurusannya. Meski teman-teman berasal dari
keluarga kaya tetapi mereka tetap menerimaku dan mau berteman dengan diriku.
Dengan berasal dari keluarga tidak mampu malah menjadikanku bersungguh-sungguh
dalam belajar. Dalam fikiranku, untuk belajar di SMP favorit ini sangatlah
susah bagi anak seperti diriku oleh karena itu aku harus serius. Karena hanya
ilmu yang bisa mengangkat derajatku dan keluargaku.
Tibalah kelulusan SMP. Saat ditanya
aku mau melanjutkan ke SMA mana, aku tidak bisa menjawab. Tentunya hal ini
dikarenakan biaya untuk masuk SMA favorit seperti cita-citaku tidak mungkin
terbayar oleh keluarga seperti diriku. Ayah berkata bahwa beliau benar-benar
tidak punya uang untuk memasukkan diriku seperti keinginanku. Bahkan ayah
kembali menyuruhku untuk berhenti sekolah. Tentu saja aku tidak mau, tapi aku
pun tidak punya uang sama sekali. Di tengah kebingunganku, kembali sahabat
baikku Erly dan keluarganya berbaik hati membayar sebagian uang masuk SMA
Favorit impianku. Dengan nilai ujian yang cukup tinggi aku pun lolos masuk ke
SMA tersebut.
Di SMA aku tetap berteman baik
dengan Erly bahkan kami selalu satu bangku dan mengerjakan tugas apapun
bersama. Aku tidak segan-segan menginap di rumah Erly untuk bermain dan belajar
bersama. Orang tua Erly memperlakukanku seperti anaknya sendiri. Karena nenekku
telah meninggal aku beralih menemani bibiku yang suaminya kerja jauh di luar
kota. Aku biasa mengerjakan pekerjaaan rumah seperti beres-beres rumah, mencuci
piring, mengasuh anak-anaknya dan pekerjaan rumah lainnya. Hal itu aku lakukan
karena bekalku di SMA berasal dari bibi walaupun kadang-kadang Ayah memberiku uang jajan. Namun uang itu
harus aku hemat karena sebagaian besar aku kumpulkan untuk membeli buku-buku
atau LKS maupun alat dan bahan untuk belajar praktek. Prestasiku di SMA tidak
mengalami penurunan, aku tetap bisa masuk 3 besar. Namun di kelas 3 aku mulai
gundah. Rasanya percuma aku berprestasi juga toh akhirnya aku tidak bisa
melanjutkan pendidikan di bangku kuliah. Semangat belajarku mulai turun dan
nilai ujian akhirku pun tidak seistimewa nilai siswa-siswa pintar di SMA ku.
Meskipun sebenarnya dengan
prestasiku dari sejak kelas 1 SMA, aku ditawari masuk tanpa testing atau PMDK
di beberapa universitas negeri di pulau ini. Namun tidak ada satupun yang aku
ambil karena aku bingung dengan biaya masuk serta biaya hidup selama disana.
Walau aku bisa saja nekat meski aku harus sambil bekerja tapi ayah tidak
mengizinkanku. Dengan terpaksa aku mengikuti perintahnya. Betapa hancurnya hati
ini disaat teman-teman lain sudah menjadi mahasiswa, aku hanya terdiam di
rumah. Untuk mengisi waktu luang, aku biasa habiskan dengan mengajar les anak
SMP atau mengajar ngaji anak-anak di kampungku. Sejak saat itu naluriku menjadi
seorang guru tumbuh. Walau dengan dibayar seadanya dan itu pun kalau ada, tidak
menyurutkanku untuk mengajar anak-anak. Namun dalam hati, keinginan untuk
berkuliah tidak surut.
Untuk
mengisi waktu luang aku pun menerima tawaran salah satu saudaraku untuk menjadi
SPG di sebuah toserba. Niatku hanya satu untuk mengumpulkan uang masuk kuliah.
Namun belum genap 2 bulan, rasanya aku sudah tidak kuat. Lingkungan kerjanya
kurang nyaman buatku. Belum lagi jarak rumah ke tempatku bekerja sangat jauh.
Dengan gaji yang minim serta kerja yang berat rasanya tidak akan pernah bisa
cukup untuk biaya masuk universitas. Aku pun memutuskan keluar dan mencoba
untuk mendaftar masuk perguruan tinggi walaupun aku tidak punya biaya yang penting lulus masuk
saja dulu.
Tanpa
sepengetahuan siapa-siapa aku ikut ujian masuk UPI Kampus Daerah kelahiranku. Tanpa
disangka aku pun lulus. Antara senang dan bingung aku membaca keputusan
kelulusanku. Senang karena akhirnya aku lolos masuk PGSD UPI, bingung tentunya
dengan biaya masuk yang sangat besar bagiku dan keluargaku. Tanpa
menyia-nyiakan kesempatan aku pergi kesan-kemari untuk mencari pinjaman sebagai
biaya masuk UPI. Dengan jumlah yang cukup besar dan kondisi keluargaku tentu
saja tidak ada orang yang percaya memberikan pinjaman bahkan beberapa keluargaku
yang terbilang kaya. Akhirnya harapanku pupus, aku harus mengubur cita-citaku
untuk menjadi seorang guru.
Dengan
perasaan sedih, aku masih ingat betul kejadian itu. Di hari kelahiranku aku
malah bersedih hati. Aku pergi ke mesjid Agung Kota Tasikmalaya dalam keadaan
berpuasa. Disana aku menumpahkan kesedihanku dengan berdo’a pada Sang Maha
Pencipta karena bisa diprediksi bahwa aku tidak bisa mendaftar ulang ke UPI. Baru
saja dada ini terasa berkurang beban, betapa kagetnya karena ternyata isi
dompetku telah raib diambil orang tak dikenal. Aku baru ingat sewaktu ditinggal
wudhu, tas yang berisi dompetku itu ditinggalkan begitu saja. Padahal meski
uang itu tidak seberapa tapi uang itu hasil kerjaku selama jadi SPG yang
tadinya mau aku pakai untuk menambah biaya masuk universitas. Dengan perasaan
sedih aku berjalan kaki dari mesjid Agung ke rumah dengan perut yang masih
kosong.
Dengan
kejadian yang aku alami, aku berfikir mungkin keinginanku untuk kuliah belum Allah
kabulkan. Aku segera berfikir untuk mencari kerja saja di pabrik-pabrik. Aku
pun meminta bantuan orang tua Erly karena beliau katanya punya kenalan yang
bisa membantuku untuk ikut kerja di pabrik. Erly kemudian memintaku untuk
datang ke rumahnya. Tapi diluar dugaanku ternyata orang tua Erly menyayangkan
kalau aku bekerja dengan ijazah SMA, mereka malah menanyakan biaya masuk
universitas yang ingin aku masuki. Bukannya memasukkan aku bekerja mereka malah
memberiku lebih yaitu dengan memberikan pinjaman sejumlah uang untuk biaya
masuk kuliah. Dengan terharu dan senang tentunya, aku menerima kebaikan Erly
dan keluarganya. Dan besoknya aku segera membereskan biaya administrasi di
Bandung bersama temanku, dan aku pun resmi menyandang status mahasiswa walaupun
cuma sebatas D2. Alhamdulillah.
Menjadi
mahasiswa bagiku tidaklah mudah, namun lagi-lagi Allah membuatku terasa ringan
menjalaninya. Allah selalu memberikan pertolongan-Nya dari arah yang tak
disangka-sangka. Selain menjadi mahasiswa aku pun masih terus mengajar mengaji
anak-anak di kampungku dan juga ikut menjadi guru sukarelawan di SD tempatku
dulu sekolah bersama Uwa meskipun dengan honor yang tidak seberapa tapi
keberkahanlah yang aku rasakan. Kesempatan kuliah tidak aku sia-siakan, dengan
prestasiku alhamdulillah ada beasiswa yang bisa aku gunakan untuk menambah uang
kuliah. Dengan IPK cumclaude, bersama 50 orang IPK tertinggi dari angkatanku,
aku bisa langsung melanjutkan ke program S1 PGSD tanpa testing dengan biaya
lebih murah tentunya. Sungguh merupakan berkah yang besar bagiku. Dengan teman-teman yang hampir bernasib sama denganku
ikatan persahabatan kami sangat kuat terutama saat belajar. Kami terbiasa
saling menguatkan dan saling membantu dan tentunya menambah semangatku untuk
terus belajar dengan giat. Semangat ini lebih dikarenakan juga karena untuk
bisa berkuliah disini ini tidaklah mudah, maka aku harus bisa memanfaatkan
kesempatan yang telah Allah berikan.
Akhir
tahun 2008 saat kami sedang menyelesaikan skripsi, ada penerimaan CPNS di
kotaku. Dengan berbekal ijazah D2 kami pun ikut mendaftar dan ikut testing
untuk menjadi guru SD. Tadinya sih niat untuk coba-coba sebagai ajang latihan
saja tanpa beban harus diterima. Tapi Allah berkata lain, aku diberitahu oleh
teman-teman dan kepala sekolah tempatku sukwan bahwa aku lulus testing CPNS.
Saat itu pula aku sujud syukur karena dari sekian banyak orang akhirnya aku
diterima. Dan sejak saat itu aku menjadi salah satu PNS guru di kota
Tasikmalaya. Tak lama dari sana aku pun dilamar oleh seorang anggota Polisi dan
menjadi suamiku sampai sekarang ini. Dia tidak hanya bisa menerimaku tetapi
juga menerima keluargaku apa adanya. Kami sudah dianugerahi dua orang anak,
putera dan puteri yang inshaAllah dan mudah-mudahan sholeh-sholehah. Sungguh
berkah yang luar biasa bagiku.
Inilah
aku Ema Astri Muliasari yang telah Allah besarkan dan dewasakan dengan
kesulitan-kesulitan. Tak banyak orang yang tahu dibalik aku yang sekarang
terutama teman-temanku.. Terkadang kalau merenung, bagaimana masa-masa sulit
itu bisa aku lalui tanpa campur tangan Allah. Namun justru itulah cara Allah
menyayangiku dan membuatku selalu ingat dan dekat dengan-Nya. Namun Allah ternyata selalu bersama-ku selama
hamba-Nya mau berusaha dan berdo’a tentunya Allah akan selalu memberikan
jalan-Nya. Allah selalu menyimpan hikmah yang besar dibalik cobaan-Nya. Ujian
itu selalu menyadarkanku akan siapa diriku dulu, aku harus selalu bersyukur
dengan apapun yang telah Allah berikan. Aku pun harus selalu ingat dengan
orang-orang yang mungkin nasibnya tidak seberuntung diriku.
Terima
kasih Allah, terima kasih orang tuaku, guru-guruku, teman-temanku terutama Erly
dan keluarganya, terima kasih suamiku, keluargaku dan semua orang yang tidak
bisa aku sebutkan satu persatu. Selalu ingat, dibalik kesukaran ada kemudahan. Allah
tidak akan memberikan suatu cobaan diluar kemampuan umat-Nya. Boleh jadi apa
yang menurutmu baik, itu baik menurut Allah. Tapi apa yang baik menurut Allah
pasti baik pula untuk dirimu. Inilah kisahku. Kisah yang akan selalu aku
ceritakan kepada murid-muridku dan anak-anakku sebagai motivasi buat mereka
untuk tidak berputus asa dalam menggapai cita-citanya. Karena hidup adalah
sebuah perjuangan, mimpi boleh melangit tapi kaki harus tetap membumi. Semoga
menginspirasi...
|
Penulis
bernama lengkap Ema Astri Muliasari, S.Pd, dilahirkan di Tasikmalaya tanggal
27 Juli 1984 dan bekerja sebagai PNS Guru SD. Penulis beralamat di Perum
Griya Aboh Permai blok M-16 Kota Tasikmalaya
Pin BB:
27FBE4BD
FB : EmaAstri
Umina Fakhri
|
0 komentar:
Posting Komentar